Halaman

Kamis, 31 Mei 2012

Bharatayudha (6) Suluhan – Gatotkaca gugur

 
pic: Rudyao – GaimCreativeStudio@deviantart 

Setelah burisrawa gugur, kurawa mengangkat adipati karna dari awangga sebagai senopati. Hari sudah gelap, sang surya sudah lama meninggalkan jejak sinarannya di ladang Kurusetra. Harusnya perang dihentikan, masing – masing pihak beristirahat dan mengatur strategi untuk perang esok hari. Namun entah mengapa Kurawa mengirim senopati malam – malam begini.

Adipati Awonggo ngamuk punggung menerabas dan menghancurkan perkemahan pasukan Pandawa di garda depan. Penjaga perkemahan kalang kabut tidak kuasa menandingi krida Sang Adipati Karno. Secepat kilat berita ini terdengar di perkemahan Pandawa Mandalayuda. Sri Kresna tahu apa yang harus dilakukan. Dipanggilnya Raja Pringgondani Raden Haryo Gatotkaca, putra kinasih Raden Brataseno dari Ibu Dewi Arimbi. Disamping Sri Kresna, Raden Brataseno berdiri layaknya Gunung memperhatikan dengan seksama dan waspada pembicaraan Sri Kresna dengan putranya.
”Anakku tersayang Gatotkaca….Saat ini Kurawa mengirimkan senopati nya di tengah malam seperti ini. Rasanya hanya kamu ngger yang bisa menandingi senopati Hastina di malam gelap gulita seperti ini”
”Waduh, wo prabu…..terimakasih Wo. Yang saya tunggu – tunggu akhirnya sampai juga kali ini. Wo prabu, sejak hari pertama perang baratayuda saya menunggu perintah wo prabu untuk maju ke medan perang. Wo prabu Kresna, hamba mohon do’a restu pamit perang. Wo hamba titipkan istri dan anak kami Danurwindo. Hamba berangkat wo, Rama Wrekudara mohon pamit….”
“Waaa………Gatot iya…..“
Sekejap Gatotkaca tidak terlihat. Sri Kresna merasakan bahwa inilah saatnya Gatotkaca mati sebagai pahlawan perang Pandawa. Dia tidak mau merusak suasana hati adik – adiknya Pandawa dengan mengutarakan apa yang dirasakannya dengan jujur. Namun perasaan wisnu nya mengatakan Wrekudara harus disiapkan untuk menerima kenyataan yang mungkin akan memilukannya nanti.
“Wrekudoro…“
“Kresna kakangku, iya ….“
“Aku kok agak merasa aneh dengan cara pamitan Gatotkaca, mengapa harus menitipkan istri anaknya ??“
“Wah…Kakang seperti anak kecil. Orang berperang itu kalau nggak hidup ya mati. Ya sudah itulah anakku Gatotkaca, dia mengerti tugas dan akibatnya selaku satria.“
“Oo..begitu ya, ya sudah kalau begitu. Kita sama – sama doakan mudah-2an yang terbaik yang akan diperoleh anakmu Gatotkaca.“. Sebenarnya Kresna hanya mengukur kedalaman hati dan kesiapan Wrekudara saja. Paling tidak untuk saat ini, Wrekudara terlihat sangat siap dengan apapun yang terjadi.
Malam gelap gulita, namun di angkasa ladang Kurusetra kilatan ribuan nyala obor menerangi bawana. Nyala obor dari ribuan prajurit dua belah pihak yang saling hantam gada, saling sabet pedang, saling lempar tombak, saling kelebat kelewang dan hujan anak panah. Gatotkaca mengerahkan semua kesaktian yang dimilikinya. Dikenakannya Kutang Antakusuma, dipasangnya terompah basunanda, dikeluarkan segala tenaga yang dimilikinya. Terbang mengangkasa layaknya burung nazar mengincar mangsa. Sesekali berkelebat menukik merendah menyambar buruannya. Sekali sambar pululan prajurit Hastina menggelepar tanpa daya disertai terpisahnya kepala – kepala mereka dari gembungnya.
Semenjak lahir, Gatotkaca sudah menunjukkan tanda-tanda kedidgyaannya. Ari – arinya berminggu – minggu tidak bisa diputus dengan senjata tajam apapun. Kuku pancanaka Wrekudara mental, Keris Pulanggeni Arjuna tiada arti, Semua senjata Amarta sudah pula dicobai. Namun ari – ari sang jabang bayi seperti bertambah alot seiring bertambahnya usia si jabang bayi. Para pinisepuh Amarta termasuk Sri Kresna pun kehabisan reka daya bagaimana menolong Sang jabang bayi Dewi Arimbi ini.
Maka lelaki kekasih Dewata – Sang Paman Raden Arjuna – menyingkirkan sejenak dari hiruk piruk dan kepanikan di Kesatrian Pringgondani. Atas saran Sri Kresna, Raden Arjuna menepi. Semedi memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar kiranya memberikan kemurahannya untuk menolong Pandawa mengatasi kesulitan ini.
Di Kayangan Suralaya, permintaan Arjuna didengar oleh para dewa. Bethara Guru mengutus Bethara Narada untuk memberikan senjata pemotong ari – ari berupa keris Kunta Wijayandanu. Bethara Narada turun dengan membawa senjata Kunta bermaksud menemi Arjuna yang kala itu diiringi oleh para punakawan, abdi tersayang.
Sahdan di tempat lain, Adipati Karno sedang mengadu kepada Ayahnya Dewa Surya, dewanya Matahari. Adipati Karno, memohon welas asih kepada Sang Ayah untuk memberikan kepadanya senjata andalan guna menghadapi perang besar nanti. Dewa Surya menyarankan anaknya untuk merampok Senjata Kunta dari Bethara Narada. Karno dan Arjuna adalah saudara seibu yang wajah dan perawakkanya sangat mirip melebihi saudara kembar. Hanya suara saja yang membedakan keduanya. Maka ketika Adipati Karno dirias oleh Dewa Surya menyerupai Arjuna, Bathara Narada tidak akan mengenal Adipati Karno lagi melainkan Arjuna.
Kelicikan Dewa Surya tidak cukup di situ. Siang yang terik dan terang benderang itu tiba – tiba meredup seolah menjelang malam. Dengan upaya dan rekayasanya, terjadilah gerhana surya. Narada, dewa yang sudah tuwa dengan wajah yang selalu mendongak ke atas itu, semakin rabun karena gerhana ini.
Adipati Karno mencegat Bethara Narada, tanpa perasaan curiga diberikannya senjata Kunta kepada ”Arjuna”. Merasa tugas selesai Narada berniat kembali ke Kahyangan. Ternyata masih ditemuinya Arjuna lagi yang kali ini tidak sendiri melainkan diiring para punakawan. Sadar Narada tertipu, diperintahkannya Arjuna untuk merebut senjata kunta dari Sang Adipati Karno. Perang tanding tak bisa dielakkan, namun hanya warangka senjata yang dapat direbut oleh Arjuna dari kakak tertuanya itu. Dengan warangka senjata itulah ari – ari jabang bayi arimbi yang kelak bernama Raden Gatotokaca dapat diputus. Keanehan terjadi ketika sesaat setelah ari – ari jabang bayi diputus, seketika warangka hilang dan menyatu ke badan si jabang bayi.
Sekarang, saat perang besar terjadi takdir itu sudah sampai waktunya. Senjata Kunta mencari warangkanya, di tubuh Raden Gatotkaca. Tidak berarti sesakti apapun Gatotkaca, setajam pisau cukur tangannya memancung leher musuhnya. Konon pula otot gatotkaca sekuat kawat tembaga, tulangnya sealot besi tempa. Kesaktiannya ditempa di Kawah Candradimuka. Namun garis tangan Gatotkaca hanyalah sampai di sini.
Di gerbang yang memisahkan antara alam fana dengan alam baka, sukma Kalabendono, paman yang sangat menyawangi Gatotkaca menunggu “sowan ke pengayunan yang Maha Pemberi Hidup”. Begitu sayangnya Kalabendono kepada keponakannya, sukmanya berjanji tidak akan kembali ke asal kehidupan jika tidak bersama sang keponakan.
Di sisi seberang ladang pertempuran, Karno telah siap dengan busur panahnya dengan anak panah Kunta Wijayandanu. Dalam hatinya berbisik “Anakku bocah bagus, belum pupus bekas ari – arimu….berani – beraninya kamu menghadapi uwakmu ini. Bukan kamu yang aku tungggu ngger…Arjuna mana? Ya ya ..sama – sama menjalani darma satria, ayo aku antarkan kepergian syahidmu dengan Kunta Wijayandanu”.
Gatotkaca, mata elangnya sangat tajam melihat gerak – gerik seekor tikus yang baru keluar dari sarangnya. Pun meski dia melihatnya dari jarak ribuan tombak diatas liang tikus itu. Begitu pula, dia tahu apa yang sedang dilakukan Sang Adipati Karno. Dia tahu riwayatnya, dia tahu bahwa warangka senjata Kunta ada di tubuhnya dan menyokong kekuatannya selama ini. Dicobanya mengulur takdir. Dia terbang diantara awan – awan yang gelap menggantung nun di atas sana. Dicobanya menyembunyikan tubuhnya diantara gelapnya awan yang berarak – arakan di birunya langit.
Namun takdir kematian sama sekali bukan di tangan makhluk fana seperti dia. Takdir itu sejengkal pun tidak mungkin dipercepat atau ditunda. Sudah waktunya Gatotkaca, sampai di sini pengabdian kesatriaanmu. Kunta Wijayandanu dilepaskan dari busurnya oleh Adipati Karno. Di jagad ini hanya Arjuna yang mampu menyamai keahlian dan ketepatan Basukarno dalam mengolah dan mengarahkan anak panah dari busurnya. Kuntawijandanu melesat secepat kilat ke angkasa, dari Kereta perang Basukarno seolah keluar komet bercahaya putih menyilaukan secepat kilat melesat.
Di angkasa….Kalabendono yang sudah siaga menunggu tunggangan, dengan sigap menumpang ke senjata Kunta. Senjata kunta dan Kalabendono, menghujam ke dada Gatotkaca, membelah jantung Sang Satria Pringgandani. Dalam sekaratnya, Gatotkaca berucap ”Aku mau mati kalau dengan musuh ku….”. Seperti bintang jatuh yang mencari sasaran, jatuhnya badan Gatotkaca tidak lah tegak lurus ke bawah, namun mengarah dan menghujam ke kereta perang Basukarno. Basukarno bukanlah prajurit yang baru belajar olah kanuragan setahun dua tahun. Dengan keprigelan dan kegesitannya, sebelum jasad Gatotkaca menghujam keretanya dia melompat seperti belalang menghindar dari sergapan pemangsa.
Jasad gatotkaca menimpa kereta, Keretapun hancur lebur, pun delapan kuda dengan kusirnya tewas dengan jasad tidak lagi bebentuk. Selesailah episode Gatotkaca dengan perantaraan Uwaknya, Adipati Karno Basuseno.
Gugurnya Gatotkaca menjadi berita gembira di kubu kurawa. Para prajurit bersorak sorai mengelu – elukan sang Adipati Karno. Kepercayaan diri mereka berlipat, semangat perang mereka meningkat. Keyakinan diri bertambah akan memenangi perang dunia besar yang ke empat ini.
Sebaliknya, kesedihan mendalam tergambar di kubu Pandawa. Wrekudara hampir – hampir tidak mampu menguasai diri ”Gatot…, jangan kamu yang mati biar aku saja bapakmu…Hmmm Karno…..!!! beranimu hanya dengan anak kemarin sore..Ayo lawanlah Bapaknya ini kalau kamu memang lelaki sejati…!”. Arimbi, sang ibu, tidak kuasa menahan emosi. Selagi para pandawa meratapi dan merawat jasad Gatotkaca, Arimbi menceburkan ke perapian membara yang rupanya telah disiapkannya. Sudah menjadi tekatnya jika nanti anak kesayangannya mati sebelum kepergiannya ke alam kelanggengan, dia akan nglayu membakar diri. Dan itu dilakukannya sekarang.
Pandawa, dengan demikian kehilangan dua keluarga dekat sekaligus di malam menjelang fajar ini. Wrekudara kehilangan anak tersayang dan istri tercintanya. Namun keturunan tidaklah terputus, karena baik Antareja maupun Gatotkaca telah mempunyai anak laki – laki sebagai penerus generasi Wrekudara.
Fajar menjelang, jenazah Gatotkaca dan abu Arimbi telah selesai diupakarti sesuai dengan ageman dan keyakinan mereka. Sri Kresna sudah bisa menenangkan Wrekudara dan para pandawa yang lain. Sekarang saatnya mengatur strategi. Tugas harus dilanjutkan. Pekerjaan harus diselesaikan, perang harus dituntaskan. Dunia akan segera mengetahui, gunjingan dunia mengenai perang besar antar dua saudara kembar akan segera terjadi siang ini.

http://wayang.wordpress.com/2010/07/28/bharatayudha-6-suluhan-gatotkaca-gugur/

Jumat, 25 Mei 2012

SYUKURI DULU HIDUP KITA

Setiap kali melihat orang berangkat ke kantor, beraktifitas rutin dengan menampakkan kesibukannya, saya kadang berpikir, “Beruntung sekali orang-orang itu ya, punya pekerjaan rutin yang membuatnya terlihat lebih aktif”. Namun sekali lagi yang tersadar dengan keberuntungan yang saya miliki sendiri, saat orang-orang yang aktif bekerja sehari-hari itu malah berkata, “Enak ya jadi orang seperti Anda, bisa lebih sering berada di tengah-tengah keluarga, nggak kena macet setiap hari, nggak pusing oleh tekanan atasan atau ulah teman sekerja. Anda memang tidak seperti saya, punya penghasilan tetap. Tapi Anda tetap berpenghasilan kan?” Saya tersenyum.

Kamis, 24 Mei 2012

" ARTI DAN MAKNA TOKOH PEWAYANGAN RAMAYANA"



Wayang adalah sebuah karya seni yang penuh simbol dan nilai-nilai filosofi

tentang kehidupan manusia. Ia banyak menampilkan aspek-aspek dan
problem-problem kehidupan manusia baik sebagai individu maupun warga
masyarakat luas. Wayang mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang
universal dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat pada jamannya.
Karakter setiap tokoh pewayangan merupakan lambang dari berbagai
pewatakan yang ada dalam kehidupan manusia. Misal watak baik, buruk,
kesetiaan dan lain-lain.

Ada banyak tokoh dalam seri Ramayana. Karena berbagai keterbatasan
tokoh yang dijadikan contoh terutama Dewi Shinta, Raden Gunawan
Wibisana, Raden Subali, Raden Sugriwa dan Patih Prahasta.

Dewi Shinta adalah putri Prabu Janaka dari kerajaan Mantili. Ia menjadi istri
Rama setelah melalui sayembara. Raden Gunawan Wibisana adalah putra
Dewi Sukesi dengan Resi Wisrawa. Ia terpaksa meninggalkan negara
Alengka dan berpihak pada Rama karena tidak setuju dengan perbuatan
kakaknya (Prabu Dasamuka raja Alengka) yang menculik Sinta. Raden
Subali dan Sugriwa adalah putra Resi Gotama dan Dewi Windradi. Semula
mereka berwajah tampan dengan nama Raden Guwarsa dan Raden Guwarsi.
Akibat perbuatannya sendiri (berebut sebuah cupu) mereka berubah wujud
menjadi kera dan namanya pun ikut diganti. Patih Prahasta adalah putra
Prabu Sumali dengan Dewi Danuwati. Prahasta adalah adik Dewi Sukesi dan
pada waktu Dasamuka mendi raja ia diangkat menjadi patihnya.

Kelima tokoh di atas memiliki karakter dan sifat-sifat tersendiri yang bisa
diambil hikmahnya dalam kehidupan kita. Banyak nilai-nilai yang dapat
diambil dan dipelajari.

Nilai kesetiaan. Nilai kesetiaan pada Dewi Shinta sangat jelas. Dia rela
menderita dengan ikut Rama hidup di hutan. Juga ketika dalam
cengkeraman Raja Dasamuka yang ingin memperistrinya, ia tak bergeming
sedikit pun walaupun diiming-imingi berbagai hal. Selain kesetiaan hal ini
juga menunjukkan kesucian hatinya. Nilai kesetiaan juga diperlihatkan oleh
Patih Prahasta yang rela mati (dalam perang melawan Rama). Ia rela mati
bukan membela Dasamuka yang angkara murka, tetapi karena kesetiaan

pada negaranya dan ketidakrelaannya melihat prajurit Alengka banyak yang
mati atau menderita karena perang melawan pasukan Rama.

Nilai kepatuhan. Kepatuhan memiliki nilai tinggi (dihargai dan dihormati)
buat orang yang menjalankannya, karena menjadi tolok ukur tentang
kehormatan, harga diri dan kepahlawanan seseorang. Dewi Shinta patuh
ketika menerima nsehat ayahnya untuk mengadakan sayembara memilih
suami. Raden Guwarsa dan Raden Guwarsi (Subali dan Sugriwa) mematuhi
perintah ayahnya untuk bertapa memohon ampun pada Tuhan sebagai
penebus perbuatannya.

Nilai kepemilikan. Memiliki sesuatu itu (misal rumah, gelar, istri/suami) ada
aturan atau undang-undangnya. Artinya siapapun yang memiliki sesuatu
keberadaannya dilindungi undang-undang. Rama yang telah memiliki Shinta
tidak dapat diganggu gugat. Shinta yang telah “dimiliki” Rama (sebagai
suami) pun berusaha menjaga nilai kepemilikan tersebut. Prahasta yang
merasa memiliki negara Alengka merelakan kematiannya karena membela
negaranya. Ia mati demi harga dirinya dan harga diri negara, bukan
membela Dasamuka yang angkara murka.

Nilai kearifan dan kebijaksanaan. Arif berarti tahu membedakan dan memilih
antara yang baik dan yang buruk. Bijaksana adalah sifat dan sikap yang
dapat menempatkan suatu masalah pada proporsi yang benar menurut
aturan yang berlaku. Karena itu rasa moral yang tinggi seharusnya
melandasi semua pikiran dan tingkah laku pemimpin. Dasamuka adalah raja
yang tidak arif dan bijaksana sehingga membawa kehancuran bagi rakyat
dan negaranya. Wibisana adalah tokoh yang arif dan bijaksana serta luas
pengetahuannya. Wibisana selalu menghargai pendapat orang lain baik
penguasa maupun rakyat kecil, selalu dapat menimbang apa yang
seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan.

Nilai ksatria. Sifat satria adalah sifat yang selalu membela kebenaran, tidak
takut menghadapi kesulitan serta bersedia mengakui kekurangan atau
kesalahannya. Atas dasar hal tersebut Wibisana berani mengesampingkan
nilai “berbakti” pada kakaknya. Ia dengan berani tidak henti-hentinya
menasehati Dasamuka agar mengembalikan Shinta pada Rama, walaupun
akibatnya ia diusir oleh kakaknya. Wibisana rela meninggalkan
kemewahannya di Alengka sebagai konskuensi dari tindakannya. Hal ini juga
mencerminkan sikap keteguhan hatinya.

Nilai pengendalian diri. Pengendalian diri adalah sikap batin manusia dalam
usaha mengontrol nafsu-nafsunya dan melepaaskan pamrihnya untuk
mendapatkan keselarasan hidup. Sugriwa dan Subali adalah gambaran
manusia yang kurang bisa mengendalikan diri. Sekalipun mengetahui ibunya

telah menjadi tugu, mereka belum sadar akan perbuatannya dan tetap
berebut sebuah cupu, penyebab malapetaka keluarga Resi Gotama.

Nilai ketekunan dan keuletan. Ketekunan dan keuletan diartikan sebagai
sikap tidak menyerah pada berbagai rintangan atau hambatan yang dihadapi
demi mencapai cita-cita atau tujuan (terlepas dari baik atau buruk tujuan
tersebut). Subali dan Sugriwa dengan sekuat tenaga berusaha memiliki
cupu, juga dengan tekun dan ulet melaksanakan tapa yang berat sebagai
penebus perbuatannya.

Nilai etika. Berdasarkan etika seseorang harus dapat membedakan hal yang
buruk dan baik, hal yang benar dan hal yang salah. Prahasta adalah
gambaran orang yang bisa membedakan mana yang baik dan buruk, mana
yang benar dan mana yang salah. Ia penasehat Prabu Dasamuka sekalipun
nasehatnya tidak pernah diperhatikan. Ia menghadapi “buah simalakama”
tetapi tetap harus memilih. Akhirnya ia memilih menjadi senapati Alengka
bukan karena membela Dasamuka tetapi membela negaranya.

Dari uraian di atas jelas terkandung nilai-nilai pendidikan, baik pendidikan
yang mengajarkan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan
manusia maupun manusia dengan lingkungan alam. Yang baik adalah
manusia bisa menjaga keharmonisan hubungan tersebut.

Rindu Belahan Jiwa

Engkau yang merindukan belahan jiwa,
resapilah ini, bahwa ...

Tuhan menyandingkan jiwa-jiwa di dunia
dalam tingkat kebaikan yang setara,
dan dalam jenjang yang naik.

Bukan kekayaan harta yang meninggikan,
tapi ketaatan kepada yang ditetapkanNya.

Bukan kemiskinan yang merendahkan,
tapi hati yang menistai kebaikannya sendiri.

Sesungguhnya,
hanya engkau yang mengindahkan hati dan dirimu,
yang akan sesuai dengan belahan jiwa
yang indah cinta dan kesetiaannya kepadamu.

Maka bisikkanlah,

Wahai Yang Maha Cinta,
sandingkanlah aku dengan jiwa pilihanMu.

Aamiin

---------------

Mario Teguh - Loving you all as always