Halaman

Kamis, 24 Mei 2012

" ARTI DAN MAKNA TOKOH PEWAYANGAN RAMAYANA"



Wayang adalah sebuah karya seni yang penuh simbol dan nilai-nilai filosofi

tentang kehidupan manusia. Ia banyak menampilkan aspek-aspek dan
problem-problem kehidupan manusia baik sebagai individu maupun warga
masyarakat luas. Wayang mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang
universal dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat pada jamannya.
Karakter setiap tokoh pewayangan merupakan lambang dari berbagai
pewatakan yang ada dalam kehidupan manusia. Misal watak baik, buruk,
kesetiaan dan lain-lain.

Ada banyak tokoh dalam seri Ramayana. Karena berbagai keterbatasan
tokoh yang dijadikan contoh terutama Dewi Shinta, Raden Gunawan
Wibisana, Raden Subali, Raden Sugriwa dan Patih Prahasta.

Dewi Shinta adalah putri Prabu Janaka dari kerajaan Mantili. Ia menjadi istri
Rama setelah melalui sayembara. Raden Gunawan Wibisana adalah putra
Dewi Sukesi dengan Resi Wisrawa. Ia terpaksa meninggalkan negara
Alengka dan berpihak pada Rama karena tidak setuju dengan perbuatan
kakaknya (Prabu Dasamuka raja Alengka) yang menculik Sinta. Raden
Subali dan Sugriwa adalah putra Resi Gotama dan Dewi Windradi. Semula
mereka berwajah tampan dengan nama Raden Guwarsa dan Raden Guwarsi.
Akibat perbuatannya sendiri (berebut sebuah cupu) mereka berubah wujud
menjadi kera dan namanya pun ikut diganti. Patih Prahasta adalah putra
Prabu Sumali dengan Dewi Danuwati. Prahasta adalah adik Dewi Sukesi dan
pada waktu Dasamuka mendi raja ia diangkat menjadi patihnya.

Kelima tokoh di atas memiliki karakter dan sifat-sifat tersendiri yang bisa
diambil hikmahnya dalam kehidupan kita. Banyak nilai-nilai yang dapat
diambil dan dipelajari.

Nilai kesetiaan. Nilai kesetiaan pada Dewi Shinta sangat jelas. Dia rela
menderita dengan ikut Rama hidup di hutan. Juga ketika dalam
cengkeraman Raja Dasamuka yang ingin memperistrinya, ia tak bergeming
sedikit pun walaupun diiming-imingi berbagai hal. Selain kesetiaan hal ini
juga menunjukkan kesucian hatinya. Nilai kesetiaan juga diperlihatkan oleh
Patih Prahasta yang rela mati (dalam perang melawan Rama). Ia rela mati
bukan membela Dasamuka yang angkara murka, tetapi karena kesetiaan

pada negaranya dan ketidakrelaannya melihat prajurit Alengka banyak yang
mati atau menderita karena perang melawan pasukan Rama.

Nilai kepatuhan. Kepatuhan memiliki nilai tinggi (dihargai dan dihormati)
buat orang yang menjalankannya, karena menjadi tolok ukur tentang
kehormatan, harga diri dan kepahlawanan seseorang. Dewi Shinta patuh
ketika menerima nsehat ayahnya untuk mengadakan sayembara memilih
suami. Raden Guwarsa dan Raden Guwarsi (Subali dan Sugriwa) mematuhi
perintah ayahnya untuk bertapa memohon ampun pada Tuhan sebagai
penebus perbuatannya.

Nilai kepemilikan. Memiliki sesuatu itu (misal rumah, gelar, istri/suami) ada
aturan atau undang-undangnya. Artinya siapapun yang memiliki sesuatu
keberadaannya dilindungi undang-undang. Rama yang telah memiliki Shinta
tidak dapat diganggu gugat. Shinta yang telah “dimiliki” Rama (sebagai
suami) pun berusaha menjaga nilai kepemilikan tersebut. Prahasta yang
merasa memiliki negara Alengka merelakan kematiannya karena membela
negaranya. Ia mati demi harga dirinya dan harga diri negara, bukan
membela Dasamuka yang angkara murka.

Nilai kearifan dan kebijaksanaan. Arif berarti tahu membedakan dan memilih
antara yang baik dan yang buruk. Bijaksana adalah sifat dan sikap yang
dapat menempatkan suatu masalah pada proporsi yang benar menurut
aturan yang berlaku. Karena itu rasa moral yang tinggi seharusnya
melandasi semua pikiran dan tingkah laku pemimpin. Dasamuka adalah raja
yang tidak arif dan bijaksana sehingga membawa kehancuran bagi rakyat
dan negaranya. Wibisana adalah tokoh yang arif dan bijaksana serta luas
pengetahuannya. Wibisana selalu menghargai pendapat orang lain baik
penguasa maupun rakyat kecil, selalu dapat menimbang apa yang
seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan.

Nilai ksatria. Sifat satria adalah sifat yang selalu membela kebenaran, tidak
takut menghadapi kesulitan serta bersedia mengakui kekurangan atau
kesalahannya. Atas dasar hal tersebut Wibisana berani mengesampingkan
nilai “berbakti” pada kakaknya. Ia dengan berani tidak henti-hentinya
menasehati Dasamuka agar mengembalikan Shinta pada Rama, walaupun
akibatnya ia diusir oleh kakaknya. Wibisana rela meninggalkan
kemewahannya di Alengka sebagai konskuensi dari tindakannya. Hal ini juga
mencerminkan sikap keteguhan hatinya.

Nilai pengendalian diri. Pengendalian diri adalah sikap batin manusia dalam
usaha mengontrol nafsu-nafsunya dan melepaaskan pamrihnya untuk
mendapatkan keselarasan hidup. Sugriwa dan Subali adalah gambaran
manusia yang kurang bisa mengendalikan diri. Sekalipun mengetahui ibunya

telah menjadi tugu, mereka belum sadar akan perbuatannya dan tetap
berebut sebuah cupu, penyebab malapetaka keluarga Resi Gotama.

Nilai ketekunan dan keuletan. Ketekunan dan keuletan diartikan sebagai
sikap tidak menyerah pada berbagai rintangan atau hambatan yang dihadapi
demi mencapai cita-cita atau tujuan (terlepas dari baik atau buruk tujuan
tersebut). Subali dan Sugriwa dengan sekuat tenaga berusaha memiliki
cupu, juga dengan tekun dan ulet melaksanakan tapa yang berat sebagai
penebus perbuatannya.

Nilai etika. Berdasarkan etika seseorang harus dapat membedakan hal yang
buruk dan baik, hal yang benar dan hal yang salah. Prahasta adalah
gambaran orang yang bisa membedakan mana yang baik dan buruk, mana
yang benar dan mana yang salah. Ia penasehat Prabu Dasamuka sekalipun
nasehatnya tidak pernah diperhatikan. Ia menghadapi “buah simalakama”
tetapi tetap harus memilih. Akhirnya ia memilih menjadi senapati Alengka
bukan karena membela Dasamuka tetapi membela negaranya.

Dari uraian di atas jelas terkandung nilai-nilai pendidikan, baik pendidikan
yang mengajarkan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan
manusia maupun manusia dengan lingkungan alam. Yang baik adalah
manusia bisa menjaga keharmonisan hubungan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar